Selama bertahun-tahun saya berada di
pulau Kalimantan ada hal yang paling mengusik benak, yaitu masalah pola
hidup sehat masyarakat. Pertama saya terusik adalah ketika berada di
pemukiman Dayak Punan Basap di Kabupaten Berau Kalimantan Timur, saat
itu kebetulan saya bersama dr Matius, seorang dokter yang benar-benar
peduli dengan masyarakat yang tidak mampu dan terpencil. Saat
mengunjungi pemukiman Dayak Punan Basap tersebut dr Matius menyimpulkan
bahwa hampir penghuni pemukiman tersebut mengidap penyakit TB Paru.
Kebetulan saya saat itu bekerja sebagai Community Development Officer
sebuah tambang batu bara dan punya otoritas untuk mengeluarkan dana bagi
kesehatan masyarakat, maka saya coba kirim beberapa orang yang paling
parah untuk melakukan tes BTA (Bakteri Tahan Asam) dan Rontgen (Torax),
dan ternyata hasilnya memang positif mengidap TB Paru.
Pengobatan TB Paru sangat susah
diaplikasikan kepada masyarakat. Mereka tidak sabar untuk minum obat
selama 6 bulan, 1 bulan minum obat dan meresa sedikit lebih baik maka
mereka berhenti meminum obat tersebut. Beberapa bulan sakit lagi,
diobati, berhenti lagi, serba tidak tuntas karena kesadaran dan
pemahaman yang sangat kurang. Tingkat kematian karena TB Paru cukup
tinggi, salain itu kematian juga banyak disebabkan oleh malaria. Justru
sangat jarang saya temukan warga di peadalaman meninggal karena sakit
jantung.
Pola hidup masyarakat di pedalaman
Kalimantan memang memprihatinkan, pola hidup bagi bebarapa suku dayak
ada yang masih nomaden. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat yang lain. Berburu dan meramu menjadi kebiasaan yang sudah turun
temurun. Rumah yang sederhana dan sementara kurang cocok bagi kualitas
hidup sehat. Pernah seorang dokter yang saya ajak ke pemukiman di
pedalaman Kalimantan menyarankan agar masyarakat membuka jendela supaya
cahaya matahari masuk dan udara segar bisa mengganti udara pengap dalam
rumah, tapi yang didapat dari dokter tersebut adalah makian, “Kami sudah
turun temurun hidup dengan rumah seperti ini, nenek kami bisa sampai
tua, kami baik-baik saja, tahu apa kamu tentang hidup kami”.
Masyarakat sendiri lebih percaya kepada
dukun adat daripada tenaga medis, faktor lain bukan masalah lebih
percaya atau tidak, yang saya temukan sekarang adalah untuk sekali
datang ke mantri kesehatan atau bidan desa masyarakat paling tidak harus
mengeluarkan uang sebesar Rp. 100.000, sementara jika mereka ke dukun
biayanya jauh lebih murah bahkan kadang kala gratis. Fasilitas kesehatan
di daerah tidak bisa dikatakan tidak ada, kenyataan hampir di setiap
desa saya temukan bangunan puskesmas pembantu, tetapi tenaga medisnya
yang tidak ada.
Saya tidak menyalahkan pola hidup
masyarakat di pedalaman Kalimantan, karena kesadaran mereka tentang cara
dan manfaat hidup sehat memang kurang. Solusi supaya pola mereka
berubah adalah :
- Mengubah pola pikir masyarakat tentang kesahatan, cara paling efektif adalah meningkatkan kualitas pendidikan, dengan tingkat pendidikan yang baik akan berkorelasi dengan tingkat kesadaran hidup yang sehat yang lebih baik pula.
- Meningkatkan sarana-prasarana kesehatan masyarakat dan menempatkan tenaga medis dengan kualitas pengabdian yang baik, bukan komersial, tentu pemerintah wajib untuk memberikan insentif bagi tenaga medis di padalaman supaya mereka betah mengabdi, bukan merasa diasingkan.
- Peningkatan kualitas ekonomi dengan pembuatan program ekonomi yang berkelanjutan, misal pembinaan kelompok masyarakat di bidang pertanian, perikanan, kerajinan, yang sesuai dengan potensi lokal dan serapan pasar.
Masyarakat pedalaman bukanlah suatu
obyek tontonan kemiskinan bangsa, tetapi menjadi suatu subyek
keprihatinan kita. Perlu komitmen dan sinergi antara pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha untuk memberdayakan masyarakat sehingga
kualitas hidup mereka lebih baik.
Sumber Utama : http://pendakigunung.wordpress.com/2009/06/11/kesehatan-melihat-pola-hidup-masyarakat-pedalaman-kalimantan/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar